LDSI Al-Muntazhar, Apa dan Kenapa?
Sabara Nuruddin**)
A. Mukaddimah
Bismillahirrahmanirrahim.Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammadin wa ala alihi Sayyidina Muhammad wa ajjil farajahum.Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.Yang mulia Ayahanda Pendiri dan kawan-kawan penanti yang saya cintai.Salam LDSI!
8 tahun kisaran waktu, tanpa terasa mengiring pasang-surut semangat, gerak, dan kiprah. Walau begitu, pendar impian tak pernah pudar, terus merona menyuluh semangat untuk terus mematri bakti yang meski kecil tapi riil dalam bingkai visi besar ideologi universal, Islam dengan Pandangan Dunia Tauhid sebagai dasar, kecintaan pada Allah, Rasul-Nya, dan Ahlulbait suci sebagai modal.
8 tahun mungkin masih terlalu kecil yang kita lakukan (sekecil kelompok kita tentunya), mungkin ibarat setetes air dari apruh burung Bulbul yang hendak memadamkan api Namrud. Pendar pencerahan yang kita berikan pun mungkin masih sekecil titik cahaya di tengah gelap nan gulita.
LDSI Al-Muntazhar adalah salah satu unsur masyarakat yang mencoba mengaktualkan kesadaran intelektual sebagai wujud pengejawantahan nilai-nilai suci yang dihasilkan melalui pola pendidikan terstruktur dalam menggali nilai-nilai universal Islam dan kearifan-kearifan lokal dalam bingkai akhlak Rasulullah SAWW dan Ahlulbaitnya yang suci (Alinea 2 Mukaddimah konstitusi).
Untuk itulah lembaga ini didirikan, diperjuangkan, digerakkan, dan diteruskan. 8 tahun masih waktu yang singkat untuk berjuang dan istiqamah di garis juang.
B. Refleksi Historis
JAS MERAH –Jangan sekali-sekali melupakan sejarah-. (Soekarno).
Hari itu, Ahad 28 Desember 2003, bertepatan dengan 5 Dzulqaedah 1424 H. Pada sebuah ruangan di gedung Audio Visual MAN Model Makassar, sekitar 40-an anak muda, yang hampir semuanya adalah mahasiswa dan pelajar berkumpul untuk sebuah perhelatan sacral bagi kelompok kecil mereka.
Perhelatan itu diberi nama Musyawarah Besar ! (MUBES I) LDSI Al-Muntazhar, Mubes yang menjadi momentum pengikat dan pengingat akan sebuah komitmen yang kemudian disepakati untuk dilembagakan, karena sebuah keyakinan bahwa “kejahatan yang terorganisir, akan mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir”.
Deklarasi di Ahad sore 28 Desember 2003 bukanlah suatu hal yang terjadi tanpa proses panjang.
Setidaknya Pendeklarasian pendirian LDSI Al-Muntazhar di awali pada sekitaran bulan Mei 2002, di sebuah rumah kost di Jalan Monumen Emmy Saelan Makassar, yang kemudian menamakan dirinya sebagai komunitas belakang warung coto (letak rumah kost itu epat berada di belakang sebuah warung coto).
11 anak muda yang masih duduk di bangku semester awal dan sebagian lagi masih berstatus pelajar dengan diinisiasi oleh seorang ustadz, yang kala itu juga masih muda, membentuk suatu kelompok diskusi demi memuaskan hasrat pubereas intelektual anak-anak muda itu. Diskusi demi diskusi dilakukan dengan tema-tema filsafat dan keislaman.
Singkat cerita di sebuah kamar kos yang berantakan, menjadi cikal bakal perintisan sebuah lembaga yang kelak menampung anak-anak muda “berantakan” dari berbagai latar belakang ke-“berantakan”nya. Ke-”berantakan” karena sebuah “pemberontakan” pada dominasi dan hegemoni dogma yang jumud, statis, dan melenakan dengan nama agama.
Di lembaga inilah “pemberontakan” yang “berantakan” itu diramu menjadi lebih epistemik, dan sistemik yang diwujudkan dalam bentuk kerja-kerja pencerahan, yang formalisasi komitmen organisatorisnya diwujudkan pada Ahad sore di tanggal 28 Desember 2003.
C. Refleksi Epistemologis
Krisis utama umat Islam adalah krisis epistemologi (Zia al-Din Sardar)
Sedari awal, kegelisahan epistemik telah memantik kesadaran sekelompok anak muda yang di inisiasi dan dibina oleh seorang ustadz muda untuk menjadi LDSI Al-Muntazhar sebagai komunitas epistemik yang intens mengeksplorasi wacana dan kerangka epistemologi guna menyusun kerangka dan pola keberagamaan yang lebih rasional dan humanis.
Tak bisa dipungkiri, LDSI Al-Muntazhar tumbuh dan dikenal sebagai lembaga kajian yang sangat memperhatikan epistemologi sebagai basis dalam segala hal, khususnya dalam keberagamaan (keberislaman).
Kerja-kerja pencerahan yang berlabel dakwah dan study dalam sebuah lembaga yang diatributkan pada cahaya suci yang terus dinanti secara aktif merupakan kerja-kerja epistemik dalam rangka revolusi epistemik, karena keyakinan dasar, bahwa umat tak akan bisa berubah jika epistemologi mereka tak dibenah.
Dalam hal epistemologi, kader-kadeer LDSI sadar betul bahwa Islam adalah inspiringepistemologis yang sejatinya mengajarkan umat pada kerangka pikir yang sistematis, dengan berpikir radikal dan kritis, memandang dunia dengan universal dan mengulasnya secara analitis, serta tentu saja hasil-hasil pemikiran itu direfleksikan agar bisa kontributif bagi pencerahan umat, khususnya generasi muda Islam.
Islam sebagai inspiringepistemologis, yang oleh para pemikir muslim dirinci menjadi 3 bentuk pendekatan nalar, yaitu nalar bayani, nalar burhani, dan nalar irfani, menjadi basis epistemik LDSI Al-Muntazhar.
Ketiga nalar tersebut ibarat trinitas epistemologis yang berjalin kelindan membentuk bangunan pengetahuan berdasar Islam (bukan Islamisasi ilmu tapi Islam sebagai ilmu), meski pada tataran operasional ketiganya kadang penerapannya masing-masing pendekatan nalar tersebut dioperasikan secara mandiri sesuai kamar pengetahuan yang digeluti.
Pilihan LDSI Al-Muntazhar terhadap epistemologi Islam yang diyakini par excelent, bukan berarti LDSI harus berhadap-hadapan secara frontal dan apriori terhadap khasanah epistemik dan keilmuan Barat.
Dalam posisi ini, LDSI memilih sikap tengah-tengah antara jumud dan naïf. Jumud yang menolak Barat secara apriori dan naïf yang menerima Barat secara total dan abai terhadap Islam. Kerangka keilmuan dan pemikiran Barat diterima secara kritis, dan pada saat yang sama produk pemikir muslim pun diterima secara kritis pula.
Akhirnya, proses refleksi epistemologis LDSI berujung pada pencapaian pengetahuan suci yang diyakini sebagai pengetahuan sejati yang universal dan paripurna. Hal ini sebagaimana disebut dalam kalimat pertama alinea pertama Mukaddimah konstitusi LDSI Al-Muntazhar, “Pengetahuan suci adalah merupakan tata universal dan paripurna yang mutlak dimiliki oleh setiap insan sebagai cerminan kesadaran”.
Oleh LDSI epistemologi, dipahami tak sekedar rasio instrumental yang bermuara pada cara pandang yang materialistis dan sikap hidup yang pragmatis dan bebas nilai. Tapi epistemologi yang terpahami dan hendak dipahami secara utuh oleh setiap kader LDSI adalah epistemologi yang bermuara pada pandangan dunia universal (Tauhid) yang memandang dunia sebagai satu kesatuan utuh antara realitas fisika dan metafisika dengan Allah sebagai modus existence dan mendekatkan diri padaNya sebagai ultimate goal.
D. Refleksi Ideologis
Ideologi lebih dari sekedar sistem ide. (Antonio Gramsci)
Sebagai agama universal dan paripurna, Islam pastilah memiliki dimensi ideologis yang mengcover keseluruhan tata nilai kemanusiaan, sistem gerak perjuangan, dan ultimate goal baik secara individual maupun social.
Dimensi ideologis ini disebutkan dalam pasal 5 AD LDSI tentang tujuan lembaga, yaitu “terbinanya insan yang bertakwa dan berjiwa revolusioner yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT (Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur)”, pasal 6 tentang usaha, “Usaha lembaga ini adalah memperkuat integritas kader dan turut serta dalam pembangunan masyarakat”, dengan Alquran dan Sunnah Ahlulbait AS sebagai Asas (Pasal 4).
Alquran adalah asas pengetahuan, keyakinan, tata nilai, dan laku hidup, serta ultimate goal dari gerak kelembagaan LDSI secara komunal dan personal. Jalur transmisi pengetahuan Alquran adalah melalui Sunnah RAsul melalui jalur Ahlulbaitnya yang suci dan disucikan sebagai representasi risalah suci dan paling berhak atas otoritas suci. Insan utama dalam risalah suci yang berhak beroleh kemuliaan di hadapan Sang Maha Suci adalah insan yang paling tinggi takwanya.
Takwa disebutkan dalam Alquran dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan kata benda (ism) yang berupa kualitas hidup dalam keterjagaan dan keterpeliharaan dari segala hal yang menghalangi diri dari kedekatan denganNya. Takwa adalah kualitas jiwa paripurna dengan berjalannya akal secara maksimal dan terpantiknya kesadaran fitrawi hingga membuat manusia menjadi benar-benar bisa bersikap manusiawi.
Makna menjauhkan diri dari dosa bukan dengan sikap menjauh dari lingkungan, tapi membentengi diri dari dosa. dengan pencapaian akal dan kesdaran fitrah yang maksimal serta bergerak aktif untuk memperbaiki kerusakan social dengan amar ma’ruf nahy munkar.
Dengan demikian, takwa berbanding lurus dengan jiwa revolusioner sebagai derivasi dari jiwa yang bertakwa. Jiwa revolusioner diwujudkan dalam bentuk semangat dan laku gerak yang membara dalam membawa perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik atau masyarakat yang secara social dekat denganNya atau masyarakat yang diridhaiNya.
Terbinanya kader yang memiliki integritas, dalam artian intelektual, moral, dan spiritual sebagai identitas kader yang bertakwa dan secara sosial, LDSI adalah salah satu komponen yang memiliki kesadaran sosial oleh karenanya bertanggung jawab dalam usaha-usaha pembangunan masyarakat.
Pembangunan masyarakat adalah membangun karakter (carachter bulding) melalui kerja-kerja pencerahan kepada umat sebagai komitmen ideologis komunitas kecil kita.
Akhirnya, Komitmen ideologis tersebut menjadi spirit gerak LDSI dan menjadi keniscayaan sebab lembaga ini dihadirkan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam alinea 3 mukaddimah konstitusi, “Konsekuensi tanggung jawab individu dan masyarakat yang didasari persamaan kepentingan dan tujuan dalam payung pengikut Ahlul Bait, inilah sebuah Lembaga Dakwah Dan Study Islam Al-Muntazhar melabuhkan bahteranya.”
E. Refleksi Organisatoris
LDSI Al-Muntazhar adalah Organisasi Kader & Dakwah (Pasal 8 AD)
Sebagai komunitas yang sadar betul akan pentingnya ikatan komitmen epistemologis dan ideologis dalam bentuk sebuah wadah kelembagaan yang mempunyai aturan main, maka LDSI Al-Muntazhar didirikan sebagai pengejawantahan kesadaran kolektif akan pentingnya kebersamaan dalam mengusung misi universal Islam.
Berorganisasi adalah pilihan strategis dalam rangka mengembangkan strategi pencerahan yang menjadi misi epistemologis dan misi ideologis. Kerja-kerja pencerahan mesti dilakukan dengan sistematis dan rerstruktur agar capaian yang dihasilkan dapat lebih maksimal.
Pilihan sebagai organisasi kader dan dakwah menunjukkan kelembagaan organisasi LDSI, adalah kelembagaan yang komit pada pengembangan kader dan dakwah Islam, dalam istilah kita adalah dakwah epistemik atau dakwah pencerahan. Di pasal 7 AD disebutkan bahwa LDSI bersifat independen dan terbuka. Sebagai sebuah organisasi, LDSI independen dari kepentingan apa pun dan independen dari lembaga mana pun, karena LDSI adalah organisasi yang mandiri meski dalam perjuangannya tetap membangun kerjasama aktif dengan elemen lain yang se visi dan se misi. Pilihan sebagai organisasi terbuka, menunjukkan LDSI bukanlah sebuah lembaga yang eksklusif dan mengeksklusi diri, melainkan terbuka pada berbagai pemikiran dan elemen, selama tidak bersinggungan secara mendasar dengan visi ideologis LDSI.
Oleh karena pentingnya kelembagaan organisasi, maka komitmen organisatoris ke-LDSI-an mesti menjadi perhatian penting segenap jajaran pendiri, pengurus, dan anggota LDSI. Aturan main yang disepakati sebagai rule of organization harus ditaati, bukan untuk diabaikan. Alinea ke 4 mukaddimah konstitusi menyatakan, ” Atas Ridha Allah, Rasulullah beserta Itrahnya, kami yang terhimpun dalam lembaga dakwah yang digerakkan oleh aturan main organisasi dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sebagaimana yang termaktub di bawah ini.”
Atas nama Allah, Rasul, danitrah suci kita susun dan sepakati aturan main kita, tentu saja sangat naif jika aturan main keorganisasian kita tersebut kita:abaikan. Sebagai sebuah organisasi, LDSI Al-Muntazhar harus berkembang menjadi organisasi yang tertata dengan rapi, terstruktur, sistematis, dan termanage dengan profesional guna menunjang kerja-kerja epistemik dan ideologis kita sebagai lembaga dakwah dan study.
F. Khatimah
8 sudah perjuangan kita, dan perjuangan terus berlanjut. Alhamdulillah regenerasi terus berjalan kaderisasi tak pernah berhenti, meski kecil tapi riil. Sebagaimana dinyatakan oleh Ayahanda pendiri, bahwa kita tak ingin menjadikan LDSI sebagai organisasi besar, biarlah kita kecil tapi kita semua komitmen pada agenda besar kita. Jangan berkecil hati dengan kecilnya kuantitas komunitas kita, berbesar hatilah dan berjuanglah untuk menjadiminority creative (istilah Arnold Toynbe) yang memberikan sumbangsih bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Akhirnya 8 tahun telah berlalu, generasi berganti, kader-kader yang awal membidani LDSi bukan lagi mahasiswa atau pelajar. LDSI telah mengantarkan kader-kadernya pada pilihan hidup pasca study mereka. Alhamdulillah eksponen LDSI telah berkiprah dari birokrasi, tenaga edukasi, koperasi, hingga politisi sebagai birokrat, dosen, guru, peneliti hingga anggota DPRD.
Ustadz muda yang dulu energik membina pun kini telah beranjak tua, meski belum renta dan tetap energik menyemangati kita. Terus bersemangat dalam penantian wahai para penanti, tunjukkan bakti di masa penantian, satu dalam laku gerak sebagai penanti yang aktif. Moga Allah meridhai Kita, Moga Rasul Saww dan ahlulbaitnya yang suci dan disucikan mensyafa’ati kita.
Bangkit Menjemput Revolusi “TITIK”.
Faidza asamta fa tawakkal alallah.
Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi Sayyidina Muhamamd wa ajjil farajahum.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
*) Naskah orasi ilmiah pada peringatan Dies Miladiyah ke 8 LDSI Al-Muntazhar di Rumah Adat Bone, Benteng Somba Opu Makassar, tanggal 29 Desember 2011.
**) dewan Pendiri LDSI Al-Muntazhar dan Ketua Umum LDSI Al-Muntazhar periode 2004-2005 dan periode 2005-2007.