Wajah Pemuda di Era Global
Oleh : Muhajir S.pd
“Berikan aku 10 pemuda, maka niscaya akan kuguncang dunia”. Begitulah kiranya Bung Karno pernah berucap. Sebuah ungkapan yang kemudian hari sangat terkenal. kedengarannya begitu utopis. Tapi, jika ditelisik lebih jauh, ia punya makna yang sangat dalam. Sebuah tamsil akan kepercayaan tinggi Bung Karno terhadap pemuda. Bahwa Bung karno, punya keyakinan besar terhadap kekuatan pemuda sebagai corong perubahan.
Tak bisa kita sangsi, bahwa kemerdekaan Indonesia bermula dari gerakan pemuda. Melalui organisasi-organisasi kepemudaan, dikumpulkanlah pemuda-pemuda, kemudian dididik untuk menjadi gelombang utama perubahan tatanan sosial Indonesia, menjadi pelakon utama revolusi. Dalam sejarah Indonesia, kita dapat temukan nama-nama organisasi kepemudaan seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Perserikatan nasional Indonesia (PNI), Jong Java, Jong Minahasa, jong Celebes, dan “Jong-Jong” lainnya. Semua itu menjadi wadah terbentuknya pemuda-pemuda progresif, pemuda-pemuda yang memiliki jiwa nasionalis, pemuda-pemuda yang revolusioner.
Mengapa Pemuda?
Besarnya kepercayaan terhadap pemuda sebagai garda depan perubahan, menimbulkan pertanyaan: mengapa harus pemuda? Sebab, pemuda masih segar dari segi fisik dan mental. Maka, pemuda masih memiliki banyak potensi untuk bisa diandalkan sebagai Agen of change. Dalam diri pemuda, masih terpatri progresivitas, intelektualitas, kreativitas, jiwa-jiwa keberanian. Oleh sebab itulah barangkali, Hasan Al-Banna menyimpan harapan besar terhadap pemuda dengan bertutur: “Dalam setiap kebangkitan sebuah peradaban di belahan dunia manapun, maka kita akan menjumpai bahwa pemuda adalah salah satu irama rahasianya”.
Melalui kesadaran akan pentingnya kekuatan pemuda, maka pemuda harus disatukan, pemuda mesti dipertemukan. Dalam sejarah Indonesia semangat kebersatuan pemuda menemui momennya pada 28 Oktober 1928 dengan melahirkan sebuah kesadaran kolektif dalam sebuah sumpah: “Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami Putera dan Puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. momen inilah yang kemudian hari diperingati sebagai hari sumpah pemuda.
Melalui momen sumpah pemuda, semangat juang dan nasionalisme semakin menyala-nyala. Maka tak heran, pasca sumpah pemuda, para generasi muda semakin progresif untuk memperjuangkan kemerdekaan. Para pemuda juga semakin intens untuk mengembangkan potensinya melalui organisasi-organisasi kepemudaan, menyalurkan buah pikiran, tenaga, idealisme dan kolektivitasnya untuk suatu perubahan sosial.
Krisis Kepemudaan
Jika dulu, generasi muda menjadi harapan bangsa. Lantas, bagaimana kita melihat generasi muda dewasa ini? Jika sekiranya saat ini telah memasuki era global, sungguh banyak yang telah berubah, khususnya generasi muda kita. Saat ini, kebanyakan dari generasi muda kita telah kehilangan taringnya. Identitas pemuda sebagai yang progresif, sebagai pelopor perubahan, seakan telah hanyut ditelan masa. Justru identitas pemuda saat ini lebih banyak terkonstruksi oleh kebudayaan populer. Pemuda dewasa ini, lebih menghabiskan waktunya untuk memikirkan baju merek apa atau handpone merek apa yang lebih fashionable, ketimbang memikirkan problema bangsa. Itulah mengapa, paras pemuda hari ini lebih seperti pesolek ketimbang sebagai seorang pelopor.
Di era global, para pemuda lebih banyak meluangkan waktunya menjelajahi sekat-sekat informasi mengenai fantasi gaya hidup, artis-artis populer, ketimbang menjelajahi isu-isu terhangat mengenai problem sosial-politik guna dibincangkan dan diadvokasi. Maka, wajah pemuda saat ini lebih seperti generasi virtual ketimbang generasi pembaharu. Apalagi ketika berbincang urusan-urusan kemanusiaan. Justru, generasi muda saat ini cenredung tidak manusiawi. fenomena begal adalah contoh kongkritnya. Lihatlah, rata-rata kelompok begal yang melakukan pembunuhan dan perampokan adalah pemuda. Itu artinya, wajah pemuda hari ini lebih sebagai pemangsa ketimbang penolong, apatah lagi menjadi penolong bangsa.
Begitulah kiranya wajah-wajah pemuda kita. Era global bahkan menjadi era di mana masyarakat membangun nilai yang negatif terhadap pemuda. Ada banyak julukan yang dilekatkan oleh pemuda era global: generasi alay, penikmat budaya instant, pembuat rusuh, berpikir dangkal. Sehingga dengan ini, citra pemuda akhirnya hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang kebanyakan.
Tepat 28 Oktober Indonesia memperingati hari sumpah pemuda. Baiknya momentum ini menjadi refleksi bersama, betapa pemuda dewasa ini mengalami krisis yang akut: kurangnya pemuda yang berjiwa pembaharu, meranggasnya pemuda-pemuda ber-idealisme tinggi, pemuda cenderung apatis akibat terhanyut arus globalisasi. Sehingga dengan ini, ada upaya menyelami kembali mengenai apa dan bagaimana seharusnya pemuda menghadapi konteks zamannya.
http://muhajirian.blogspot.co.id/2015/11/wajah-pemuda-di-era-global.html