Akal dalam Alquran dan Filsafat Islam: (Sebuah Catatan Pengantar)
Oleh: Sabara, M. Fil.i
Akal (‘aql) adalah fakultas epistemologi yg sangat penting dalam diri manusia, yang dengannya manusia bisa mengetahui, memahami, dan menganalisis sesuatu dengan baik. Namun, apa sebenarnya akal? Dan apa saja kategorisasinya? Banyak yang tidak mengetahuinya.
A. Mukaddimah
Akal (‘aql) adalah fakultas epistemologi yg sangat penting dalam diri manusia, yang dengannya manusia bisa mengetahui, memahami, dan menganalisis sesuatu dengan baik. Namun, apa sebenarnya akal? Dan apa saja kategorisasinya? Banyak yang tidak mengetahuinya.
Para filosof
muslim, khususnya filosof paripatetik membahas tentang akal secara
terperinci, karena konsepsi tentang akal merupakan postulat dasar dalam
filsafat mereka. Mereka percaya bahwa dengan akal dapat mengantarkan
manusia untuk mencapai kebenaran sejati. Lalu bagaimana, Alquran sebagai
dalil naqli menjelaskan tentang akal?
Akal merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab, yaitu al-a’ql (ism atau kata benda). Sedangkan dalam bentuk fi’il (kata kerja) sebagaimana yang sering disebut dalam Alquran adalah ‘aqalah, ta’qilun, na’qil, ya’qilun, dan ya’qiluha, dan orang yang berakal disebut ‘aqil.
B. Defenisi Akal
Akal merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab, yaitu al-a’ql (ism atau kata benda). Sedangkan dalam bentuk fi’il (kata kerja) sebagaimana yang sering disebut dalam Alquran adalah ‘aqalah, ta’qilun, na’qil, ya’qilun, dan ya’qiluha, dan orang yang berakal disebut ‘aqil.
Secara etimologis, kata akal berasal dari kata ‘aqala yang berarti mengikat atau menahan. Penjara dalam bahasa Arab disebut i’tiqala dan sel tahanan disebut mu’taqul, karena didasarkan pada makna ‘aqala
yang berarti mengikat atau menahan.
Sedangkan makna mengikat atau
menahan dalam kata akal berarti menahan atau mengikat realitas menjadi
pengetahuan atau konsepsi-konsepsi, atau makna-makna. Kata akal secara
umum dipahami sebagai alat epistemologi yang digunakan untuk berfikir,
memahami, dan mengerti.
Dalam Al-Qur’an, kata akal (’aql) dengan berbagai derivasinya disebut 49 kali dalam 28 surah: 31 kali dalam surah Makkiyah (turun di Kota Mekkah) dan 18 kali dalam surah Madaniyah (turun di Kota Madinah). Namun, Alquran tidak pernah menyebutkan akal dalam bentuk kata benda, melainkan selalu dalam bentuk kata kerja, ’aqaluh 1 kali, ta’qilun 24 kali, na’qil 1 kali, ya’qiluha 1 kali, dan ya’qilun 22 kali.
C. Akal dalam Alquran
Dalam Al-Qur’an, kata akal (’aql) dengan berbagai derivasinya disebut 49 kali dalam 28 surah: 31 kali dalam surah Makkiyah (turun di Kota Mekkah) dan 18 kali dalam surah Madaniyah (turun di Kota Madinah). Namun, Alquran tidak pernah menyebutkan akal dalam bentuk kata benda, melainkan selalu dalam bentuk kata kerja, ’aqaluh 1 kali, ta’qilun 24 kali, na’qil 1 kali, ya’qiluha 1 kali, dan ya’qilun 22 kali.
Menurut Prof. Harun Nasution, dalam bahasa Alquran tentang
akal sebagai kerja berpikir dan memahami sangat identik dengan qalb.
Dengan demikian oposisi biner akal-hati dalam Alquran tidak dikenal,
tampaknya hal inilah yang menginspirasi filosof muslim yang senantiasa
menjadikan akal dan hati (kalbu) sebagai dua hal yang sejatinya memiliki
fungsi yang sama.
Menurut Prof. Quraish Shihab, Alquran menggunakan kata akal untuk sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa. Setidaknya, makna akal dalam Alquran dapat dipahami dalam tiga pemaknaan, yaitu:
Menurut Prof. Quraish Shihab, Alquran menggunakan kata akal untuk sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa. Setidaknya, makna akal dalam Alquran dapat dipahami dalam tiga pemaknaan, yaitu:
- Daya untuk memahami sesuatu (QS Al-Ankabut [29]: 43)
- Dorongan moral (QS Al-An’am [6]: 151)
- Daya untuk mengambil pelajaran, hikmah, dan kesimpulan (QS Al-Mulk [67]: 10).
Jika ditilik semua ayat-ayat tentang semua term tersebut menunjuk pada
perintah yang sangat tegas agar manusia banyak berfikir dan menelaah
ayat-ayat Tuhan baik yang bersifat kauniyah maupun kauliyah.
Dengan
demikian mempergunakan akal adalah perintah yang sangat tegas dalam
Alquran. Dan bahkan dalam surat Yunus (10) ayat 100 ddengan tegas Allah
mengatakan: ”Allah akan melaknat orang-orang yang tidak mempergunakan
akalnya”, dan ayat ini berbicara tentang keimanan.
Dalam pandangan filosof paripatetik, jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah) mempunyai daya berpikir yang disebut akal. Selanjutnya akal terbagi dua:
Selanjutnya akal teoritis, mempunyai empat tingkatan:
D. Akal dalam Pandangan Filosof Muslim
Dalam pandangan filosof paripatetik, jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah) mempunyai daya berpikir yang disebut akal. Selanjutnya akal terbagi dua:
- akal praktis (‘amilah) yaitu akal yang menerima arti yang berasal dari realitas materil melalui indera pengingat (al-quwwah al-hafizah). Akal praktis berfokus pada alam materi dan menangkap kekhususan (juz’iyat atau partikular).
- akal teoritis (‘alimah) yang menangkap arti-arti abstrak yang tak berwujud materiil seperti Tuhan, Roh, Malaikat, dan lain-lain. Akal teoritis bersifat metafisis dan mencurahkan perhatian kepada hal yang immateril dan menangkap keumuman (kulliyat atau universal)
Selanjutnya akal teoritis, mempunyai empat tingkatan:
- akal materil atau akal potensial (al-‘aql al-hayulani) merupakan potensi belaka
- akal bakat (al-‘aql bi al-malakah) yaitu akal yang memahami pengertian dan kaedah-kaedah umum. Misalnya keseluruhan lebih besar dari sebagian, dll.
- akal aktual (al-‘aql bi al fi’il) yaitu akal yang telah menangkap makna-makna umum. Akal ini merupakan gudang bagi makna-makna/arti-arti abstrak yang dapat dicetuskan setiap kali dikehendaki.
- akal perolehan (al-‘aql al-mustafad). Yaitu akal yang tertinggi dan terkuat dayanya dalam memahami alam murni abstrak. Akal perolehan yang telah bergelimang dalam keabstrakannya inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan ke alam materi melalui akal ke sepuluh. Dengan demikian cakupan akal teoritis adalah logika, matematika filsafat, dan metafisika.
E. Khatimah
Dalam
sebuah hads qudsi, Allah berfirman kepada akal: ”Demi Keagungan dan
KekuasaanKu, tidak Kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau, karena
engkaulah, Aku mengambil dan memberi, dan karena engkaulah, Aku memberi
pahala dan menjatuhkan hukuman”. Akal adalah makhluk Tuhan yang
tertinggi dan dianugerahkan pada manusia sebagai penanda kemanusiaannya
dan untuk membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lain.
Karena
akalnyalah manusia diberi beban untuk mempertanggungjawabkan setiap
perbuatannya, dan yang dipertanggungjawabkan adalah sejauh mana manusia
mempergunakan secara maksimal akalnya. Sebagai makhluk yang tertinggi
dan terdekat dengan Tuhan, maka mendekatkan diri kepada Tuhan memestikan
manusia untuk selalu memfungsikan secara maksimal akalnya.
Kedekatan
manusia dengan Tuhan, sangat ditentukan oleh maksimalisasi kerja akal
yang memantik kesadaran/keimanan dan bermuara pada takwa kepada Allah.
Begitu tingginya kedudukan akal dalam Islam, sehingga dalam persoalan
keagamaan pun akal menjadi penentu dan penanda, sebagaimana sabda
Rasulullah saww: ”Agama adalah akal, dan tidak beragama bagi orang-orang
yang tidak berakal”.
Maka sungguh mengherankan, jika ada orang-orang
yang atas nama agama (Islam) lantas mematikan akal. Atas nama dalil naqli melarang penggunaan aqli, padahal dengan tegas dalil naqli memerintahkan penggunaan akal. Setiap teks yang ada di naql pastilah bisa dipahami oleh akal, dan setiap capaian akal pastilah bersesuaian dengan naql.