UIT : Peningkatan Surplus atas nama Pendidikan
Tulisan ini sebenarnya telah di buat pada bulan juli lalu, tapi hanya sebatas memuaskan hasrat menulis, di tengah badai yang mengguncang, akhirnya memaksa penulis untuk membuka kembali rak-rak di laptopnya, kemudian merevisi tulisannya.
Universitas Indonesia timur, kampus swasta yang terletak di jl.rappocini raya dan abd.kadir ini adalah kampus bagi kurang lebih 20.742 manusia yang sedang meng-asa cita-citanya . Universitas Indonesia timur adalah perguruan tinggi yang di naungi yayasan haruna., kampus yang berdiri sejak tahun 2001-sampai sekarang ini memasuki usia nya yang ke 15, dimana bagi manusia, usia 15 adalah masa produktivitasnya tengah berkembang. Sekarang saya tidak ingin berlarut-larut dalam profil kampus yang menjadi trend discussion para penikmat kopi ini.
Sebagai PT Swasta, Universitas Indonesia timur tentulah tidak seperti Perguruan Tinggi Negeri yang mendapatkan biaya pembangunan dan segala macam embel-embel pendidikan dari pemerintah, lalu darimanakah segala macam pembangunan fasilitas kampus itu didapatkan ?
kemenrisek-dikti baru-baru saja menyatakan kebijakan bahwa UIT telah di non-aktifkan pada pangkalan data perguruan tinggi(PDPT)per tanggal…(bulan desember ini, UIT mengalami masa pembinaan), sebab musabab nya antara lain :
* Rasio mahasiswa-dosen tidak memenuhi aturan
- Dosen: 347, mahasiswa: 20.742
*Administrasi akademik sangat amburadul
- Tidak memiliki data jelas mengenai jumlah wisudawan dan mahasiswa baru
- Laporan rektor ke dikti, wisudawan Juni 2015 sekitar 922 orang. Saat diperiksa 4.000-an
- Beberapa ijazah yang dikeluarkan tidak terdaftar di dikti
* Promosi abal-abal
- Dalam proses penerimaan mahasiswa baru, spanduk promosi tertulis terakreditasi B, padahal secara institusi belum terakreditasi, meski sejumlah program studi telah terakreditasi B
* Aktivitas kemahasiswaan
- Selama dua hari dievaluasi, tidak tampak aktivitas mahasiswa di kampus……(1)
Adapun dampak dari di non-aktifkannya Universitas Indonesia timur, menurut Kopertis 12 selaku lembaga yang mengawasi pendidikan adalah :
1. Tidak boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru
2. Tidak boleh melakukan wisuda (jika terjadi dualisme kepemimpinan dan atau kasus kualifikasi pemimpin yang tidak dapat dipercaya).
3. Tidak memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI lainnya, serta layanan kelembagaan dari Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI. Tidak memperoleh akses terhadap basis data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi untuk pemutakhiran data (PT dan seluruh PRODI ). (2)
Akibatnya, banyak mahasiswa yang kemudian mulai malas mengikuti proses perkuliahan, dan juga cost yang di berikan kepada kampus menjadi sia-sia. (3)
disini saya akan menjabarkan 2 analisis hasil kegalauan saya di kampung(cieeee, yang lagi galau, heuheu). Pertama, logika kapitalis pendidikan adalah mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya, kemudian memberikan biaya pendidikan tinggi sebesar-besarnya . kedua, hasil rampasan dari orang tua mahasiswa inilah kemudian mereka kembali mencari surplus dengan menciptakan institusi pendidikan ala metropolitan.
ANALISIS PERTAMA
Seperti yang saya sebutkan di atas, yang namanya swasta, yang tidak bergantung pada pajak masyarakat, sebagai yayasan, maka membangun institusi pendidikan membutuhkan biaya dari mahasiswa dan donatur nya, kampus swasta di jadikan pilihan pelarian pelajar yang tidak lulus dari PTN, maka disini Korporasi haruna melihat celah untuk meraup surplus, dengan cara membuka pendaftaran mahasiswa baru sebanyak 4 gelombang, walhasil, UIT pernah tercatat sebagai universitas dengan peminat terbanyak di Indonesia timur pada 2008 silam. Ini pernah di muat pada koran lokal, lalu di print oleh birokrat UIT dan terpampang jelas di kampus 1 UIT. Sebagai kampus swasta, mungkin hal yang wajar bila ingin mendapatkan surplus, tetapi harusnya itu di imbangi dengan kualitas pendidikan yang layak.sesuai tuntutan kurikulum pendidikan, yang nantinya peserta didik ini akan membantu negara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan tujuan negara ini. Tetapi apakah UIT telah melakukan upaya menciptakan peserta didik yang berkualitas yang di dunia kerja maupun tataran intelektual dapat di perhitungkan di luar kampus ? untuk itu, di perlukan fondasi yang kuat guna mencetak kader yang berkualitas, tidak hanya pada tataran dunia kerja saja, Secara sederhana sesungguhnya tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia (mengerti atas dirinya, lingkungan dan tujuan hidupnya) bukan pendidikan untuk mencari pekerjaan saja. Adapun upaya uit dalam mencetak kader pendidik yang berkualitas adalah :
Upaya UIT menjadikan Subjek Pendidik Sebagai Subjek pekerja untuk pasar.
a. Kita ketahui bersama bahwa di era soeharto sampai sekarang, pendidikan di jadikan alat untuk mencetak para pekerja atau buruh guna menutupi permintaan pasar, ini demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tingkatan local maupun global. Untuk memenuhi sector ini maka di butuhkan :
1. Tenaga pengajar yang kompeten. Karena untuk mencetak kader yang berkualitas, di butuhkan pembimbing yang berkualitas pula, minimal pada tataran title akademiknya harus berada 1 tingkat di atas para pelajar. Tetapi realitas yang terjadi di uit, tenaga pengajar s1 mengajar calon s1 pula, sedang tenaga pengajar s2 mengajar s2 pula. Hal ini menyebabkan kemerosotan pendidikan, sebab tidak ada jenjang ilmu yang lebih tinggi untuk di ajarkan pada peserta didik, sehingga pengetahuan yang di dapatkan berjalan stagnan. Seharusnya pihak birokrasi memberikan santunan beasiswa bagi tenaga pengajar yang berkualitas untuk melanjutkan pendidikannya pada tingkatan yang lebih tinggi.
2. Kemenristik-dikti baru-baru ini mengeluarkan surat perintah kepada Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (4), bahwasanya rasio mahasiswa dan dosen pada umumnya 1:25, sementara untuk eksakta adalah 1:30 dan 1:45 untuk non-eksakta. Artinya di dalam kelas, jumlah dosen 1 dan jumlah mahasiswa yang di ajarnya berjumlah 30 atau 45 . sedang kita ketahui bahwa uit sendiri memiliki rasio melibihi dari rasio yang di keluarkan dikti.(5) bias dari hal ini adalah proses belajar mengajar menjadi tidak efektif, sebab 1 dosen yang mengajar dalam kelas akan menghadapi kurang lebih 50 mahasiswa. Pihak birokrasi UIT tidak memperdulikan hal ini, sebab yang mereka butuhkan bukan kader yang berkualitas, tetapi uang dari kantong mahasiswa yang banyak, serta motif mencetak banyak kader untuk kebutuhan pasar.
b. Pada wilayah infrastruktur, harusnya sebuah institusi pendidikan memiliki kelayakan infrastruktur yang memadai, seperti laboratorium yang lengkap dan juga hal-hal lain yang mendukung proses pembelajaran. Tetapi apakah UIT telah melakukan upaya tersebut ? pada realitasnya, ruangan kelas nya saja tidak mencukupi dari jumlah mahasiswa, sehingga jadwal akademik harus di tata ulang setiap semesternya. pada pembukaan semester, biasanya jadwal mahasiswa baru yang lebih dulu di publikasikan dari pada angkatan di atasnya. ini membuktikan bahwa kelas dan dosen di dalam universitas ini tidak mencukupi jumlah dari mahasiswanya. Belum lagi berbagai infrastruktur yang terdapat dalam brosur pengenalan kampus, yang nyatanya tidak ada atau pemakaiannya tidak memadai.
ANALISIS KEDUA
Kemudian, di UIT sendiri, perguruan tinggi ini tidak hanya focus pada persoalan belajar mengajar saja. Itu di buktikan dengan didirikan nya berbagai macam tempat hiburan dan perbelanjaan di kampus 5. Jika kita menilisik lebih jauh, apa motif dan bias dari hal ini adalah
1. Dari kader/peserta didik yang di cetak, akan di pekerjakan pada sub-usaha yayasan haruna, dengan dalih pengabdian, dengan begitu, keuntungan pihak yayasan akan berlipat ganda, sebab mereka tidak perlu bersusah payah mencari buruh, dan juga gaji yang di tawarkan bagi para pekerja tidak terlalu mahal, sebab logika pengabdian adalah usaha yang di capai tidak perlu sebanding dengan hasil yang di dapatkan. seharusnya gaji tenaga pengajar beserta staf kampus dan tenaga keamanan harus lah sesuai UMP, sebab jika di bawah UMP, bukan hal yang tidak mungkin jika praktek korupsi hadir di tingkatan birokrasi kampus.
2. Kemudian, dari didirikannya berbagai tempat hiburan di dalam kampus,seperti bioskop, hotel dan “Rumah sakit wisata”nya, bukan tidak mungkin peserta didik tidak akan terfokus pada pendidikannya, bagaimana mungkin mencetak kader yang berkualitas, jika yang menggunung di kepalanya hanyalah budaya popular yang tidak di barengi dengan didikan yang berkualitas.
Maka, sebagai bagian dari lingkaran yang telah di bangun pihak birokrasi UIT, penulis berharap agar kedepannya, manajemen UIT bisa meng-elaborasikan tujuan pendidikan dan tujuan mereka, agar tidak ada pihak yang di rugikan.
(1) http://makassar.tribunnews.com/…/ini-dia-serba-serbi-status…
(2) http://www.kopertis12.or.id/…/daftar-nama-perguruan-tinggi-…
(3) http://sulsel.pojoksatu.id/…/citizen-report-uit-dinonaktif…/
(4) http://forlap.dikti.go.id/files/download/Nw~~
(5)http://forlap.dikti.go.id/…/QUQ2Rjk2RTMtOURERC00NUY5LTlBMzE…
M.Ikbal (Penulis Adalah Mahasiswa yang sedang melanjutkan pendidikan pada Universitas Indonesia Timur)