BERPOLITIK, BAGAIMANAKAH?
Seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia
yang pernah menjabat sebagai perdana menteri di Indonesia Muhammad
Natsir,pernah berkata bahwa Politik Itu Suci. Kekuasaan dalam politik artinya
mengalokasikan nilai secara otoritatif, sehingga dalam politik distribusi dan alokasi yang
tepat atas sejumlah nilai dapat membawa kebahagiaan manusia. Politik itu
panggilan pengabdian dan perjuangan kata Akbar Tanjung. Menjadi tidak aneh,
apabila perebutan kekuasaan senantiasa menembus batas waktu dan ruang secara geografis, generasi
dan periode sejarah, sebagaimana perseteruan politik (Mazhabiyah) diruang
keagamaan yang tak kunjung padam. Semua akhirnya bermuara pada Hegemoni dan
kekuasaan.
Dalam konteks itu, tentunya beragam motif manusia untuk
berkuasa. Karena dengan berkuasa berbagai hal yang tidak dapat dilakukan
menjadi mungkin untuk dilakukan ataupun didapatkan. Kekuasaan juga dapat
mewujudkan transformasi social dan idealitas-idealitas idiologis yang di
mimpikan. Khairun Nas anfauhum linnas, mungkin karena nilai nilai itulah
sehingga Muhammad Natsir dan Akbar Tanjung berstatmen seperti diatas.
Dulu seorang filosof bernama Aristoteles mencetuskan konsep
pemahaman yang paling klasik tentang manusia sebagai binatang politik. Maksud dari manusia sebagai binatang politik
adalah ia berkaitan dengan peran-peran luhur manusia sebagai bagian dari
pencapaian tujuan mulia negara. Didalam negara, manusia menjadi binatang
politik ketika manusia bertindak untuk kebaikan, kemuliaan, keluhuran,
kebenaran, keadilan atau untuk kehidupan yang lebih baik, kebahagiaan dan
kesejahteraan. Dimana perilaku manusia bersinergi dengan tujuan pembentukan
negara. Disini persoalannya, ketika manusia tidak lagi menjadi binatang
politik. Keutamaan, keluhuran dan kesucian politik kemudian menjadi sirna. Ia
menjadi makhluk terburuk dari segalanya kata Aristoteles. (Ulaika kal an’am)
Lebih celaka lagi, sudah tidak banyak orang yang setia menjalani kodrat
alamiahnya sebagai binatang politik.
Sahabat saya seorang konsultan politik di Indonesia ini yang
sangat berdedikasi, Bang Taufik Mahmud Lanna seringkali berulang-ulang
mengatakan terhadap klien dan anak didiknya bahwa politik itu dinamis. Kalimat
itu mengingatkan saya pada Machiavelli
yang mengatakan dunia politik selalu berubah, tidak stabil, jatuh bangun. Sang
penguasa tidak boleh hanya menonton perubahan, ia harus ikut serta mengubah
keadaan. Situasi yang selalu berubah adalah momen keberuntungan. Ia harus
memanfaatkan momen keberuntungan itu dengan intuisi dan nalar rasionalnya
sehingga tindakan yang dijalankannya tepat sasaran dan tepat waktu. Kita harus melakukan
tindakan yang dibutuhkan dalam suatu situasi yang harus kita lakukan, dan jika
itu tidak terlaksana, berarti kegagalan dalam meraih kesempatan. Karena
bertindak tanpa momentum yang tepat adalah nihil. Persoalannya adalah apa kriteria untuk
menentukan suatu tindakan harus kita lakukan?. Kemenangan dan kekuasaankah atau
dasar-dasar moral kita? Semua kembali kepada diri kita masing masing selaku
manusia. Terkadang ada tindakan yang perlu kita lakukan namun secara moral itu
berlawanan, padahal itu berdampak sangat besar bagi kemenangan kontestasi
politik yang kita kawal atau kita lakoni. Hal ini mesti secara cermat kita
analitik dampak politis dan etisnya agar tidak mencederai jati diri kita selaku
manusia, kata bang Taufik ML. Akan tetapi kalau kita berpijak pada Machiavilli maka
tindakan tersebut harus kita lakukan meski ia bertentangan dengan nilai-nilai
moral. Karena siapa saja yang berusaha baik sepanjang masa pasti akan hancur
berhadapan dengan banyak orang yang tidak baik.
Diantara banyaknya perilaku amoral yang sering dipraktekkan
oleh banyaknaya politisi adalah Mengumbar Janji Politik. Karena didunia
pentas politik, selalu ada banyak orang yang siap dan suka diberi janji
sehingga para politisi amoral inipun mengungkapkan “Sudah cukuplah kami janji,
jangan berharap kami tunaikan lagi”
Perilaku politik Machiavillian merupakan perilaku politik
yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai, mempertahankan dan
memperluas kekuasaan. Dalam perspektif machivellian, politik dan moral adalah
dua bidang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya.
Ada tiga hal yang penting kita ketahui dalam politik machivellian,
yakni tujuan berpolitik, cara memperoleh kekuasaan, dan cara mengelola
kekuasaan. Dalam hal tujuan berpolitik, tentu saja kekuasaan menjadi degub nadi
aktivitasnya. Apa yang digambarkan oleh para bengawan Politik kita tentang
kesucian politik tersebut adalah mimpi-mimpi fatamorgana belaka yang cukup
dijadikan “Takeline” dalam mencapai tujuan utamanya. Bagaimana prinsip politik machivellian ini
bekerja untuk memperoleh tujuannya dan bagaimana ia mengelola kekuasaannya? Tentunya
dengan berbagai macam cara asal tujuan dapat dicapai tanpa mempedulikan norma
etika dan kerusakan social yang ditimbulkan dari perilakunya. Karna itu dalam
mengelola kekuasaan, sifat kebinatangan menjadi
pertanda perilakunya yang memiliki potensi menghimpun berbagai jenis binatang
tersebut. Jauh bertolak belakang dari konsep Binatang Politik yang disuarakan Aristoteles.
Menjadi penguasa yang dicintai dan sekaligus ditakuti adalah bentuk kekuasaan
yang dibangun. Jika dipaksa memilih maka lebih baik menjadi penguasa yang
ditakuti ketimbang menjadi penguasa yang dicintai. Karena manusia akan
memutuskan ikatan cintanya jika itu
merugikan dirinya tetapi rasa takut diperkuat oleh kengerian akan hukuman yang
selalu efektif untuk membuat kepatuhan. Begitulah
machivellian dalam mengemas postulat politik kekuasaannya.
Berpolitik, bagaimanakah? Dalam politik, pandangan dunia dan idiologi
merupakan landasan utama yang akan
memandu sikap-sikap politik pelakunya. Idiologilah yang akan menjadi pembeda
dalam membentuk gagasan transformasi dan idealitas suatu masyarakat yang
menjadi tujuan politiknya. Menata diri dalam jalur kemuliaan dengan memperkuat
idiologi, agar berkepribadian yang tangguh dalam pesona politik yang memikat
dan memabukkan.
Wallahu alam bissawab